Sebelum dirimu menjelma sebatang cemara kering, ku lihat di jantungmu mengalir gemericik air sungai, mengibarkan pijar-pijar musim pada bebutir kerikil yang bertebaran di padang dingin. kau pun menunggangi kuda perang yang memercikkan bola api dari pukulan kuku kakinya, demi menziarahi sunyi ngarai yang demikian curam.
sebagaimana sujud kemarau yang rebah di jernih retinamu, kelopak-kelopak itu masih berjatuhan dari tangkainya yang lapuk, meski hanya semilir yang berdesir, merangkai sebaris epitaf pada sepotong batu nisan yang dipahat indah dengan lelentik jemari rembulan.
maka alangkah curam lelembah kawah hatimu; desau leletih angin menunggu diammu membatu bercadas magma, jentik reriak hujan menunggu sukmamu bergemuruh sirna.
“aku hanya sebatang cemara kering”, sembari tertawa pada angin, kau pun pamit dengan bahasa Tuhan.
sebagaimana sujud kemarau yang rebah di jernih retinamu, kelopak-kelopak itu masih berjatuhan dari tangkainya yang lapuk, meski hanya semilir yang berdesir, merangkai sebaris epitaf pada sepotong batu nisan yang dipahat indah dengan lelentik jemari rembulan.
maka alangkah curam lelembah kawah hatimu; desau leletih angin menunggu diammu membatu bercadas magma, jentik reriak hujan menunggu sukmamu bergemuruh sirna.
“aku hanya sebatang cemara kering”, sembari tertawa pada angin, kau pun pamit dengan bahasa Tuhan.
{ 0 comments... read them below or add one }
Posting Komentar