I really miss you. I really want to marry you...I'm trying to follow my heart. So, just follow your heart too. Sorry... Me, the unlucky looser...
Maka adakah yang patut disesalkan dari geletar kerinduan? Sementara banyak sketsa perjalanan yang belum sempat kulukiskan, dan kau telah pamit untuk meninggalkanku sendirian. Tapi ah, bukankah kita tidak pernah benar-benar pergi. Bukankah kita hanyalah menindah-mindah titik,
tapi tidak pernah benar-benar memilih nasib? Maka pergilah, karena hanya engkaulah yang benar-benar mengerti makna sebuah perjalanan. Barangkali Ibumu telah lama menunjukkan padamu selembar peta menuju jalan pulang.
Tak pernah terfkirkan bahwa takdir akan menuntutku untuk merindukanmu segila ini. Aku mengerti, harusnya tak ada yang perlu dirisaukan dari sebuah pertemuan. Bukankah pertemuan adalah awal perpisahan? Maka aku tak takut menjadi lelaki yang kehilangan, karena begitulah kerinduan telah mengajarkanku hakikat pertemuan.
Kau tahu, dari mana kudapatkan kekuatan untuk terus menyanyikan "I really miss you", "I really want to marry you.."? Aku terilhami oleh sebuah kisah seorang guide di tanah Mekkah yang tiba-tiba mencintai seorang perempuan bermata indah. Tapi sayang, kelak ia baru sadar bahwa perempuannya sudah memiliki calon suami, meski tak pernah ia cintai. Maka sang guide hanya bisa mengirimkan puisi rindu, yang didalamnya menyimpan doa paling lugu, mengharapkan kebahagiaan perempuannya meski ia sendiri merana. Yang pasti ia hanya tahu, perempuannya juga menyimpan rindu untuknya. Benar-benar seperti perjalanan kita, bukan?
Tahukah kau, bagaimana akhir episode cinta sang guide itu? Tahun-tahun berlalu, sang perempuan ternyata tak pernah bersatu dengan calon suaminya. Entah karena kekuatan doa, atau keazalian rasa, dan entah kenapa tiba-tiba ia bisa pergi ke Indonesia dan bertemu kembali dengan perempuan yang selalu dirindukannya. Dan mereka akhirnya bersama selamnya. Indah bukan? Lalu akankah kisah kita seirama dengan roman mereka?
Maka demi cinta dan kehilangan! Tak apa, meski hanya senyummu yang selalu membuatku rindu musim hujan, dan aku menggigil sendirian. Lalu kau punguti titik-titik resah yang menempel di kaca kamarmu, yang memaki-maki nyala hujan semalam.
Tak apa, meski hanya puisi kecilmu yang kau kirimkan pelan-pelan, saat kanvas bunga di meja kerjaku tiba-tiba muram, menyaksikan redup langit karena senja telah merindu malam, dan aku masih sendirian.
Tak apa, meski kau tak pernah menyuguhkan secangkir teh hangat yang kuminum saat pagiku tiba-tiba penat. lantaran malam terlanjur basah, dan sujudku rebah dalam gelisah. menanti kidung doa yang luruh dalam sajak-sajak pasrah.
Maka untuk apa raga, bila rasa begitu menyiksa? untuk apa rasa, bila raga tak pernah ada? untuk apa tanya, bila jawabnya sudah purna? lamat-lamat, kulihat kau menjelma perempuan bermata kaca, mengemasi ranum rindu yang sesak dalam dada...
# # #
Kemarilah, katamu, dan lihatlah jahirku di sini. Yang sakit tapi masih tetap berdiri. Jiwa tak beraga kala bintang hati tiada lagi menyala. Tak berguna jika masih kubawa. Takkan nyata walau harus dipaksa. Kumenunggu pagi lagi kini ku lebih mengerti. Betapa dirimu berarti. Sudah jangan terlalu dihayati. Mandi aja sana! Sebelum basi.. heuheu^^. Ah, kau masih bisa bercanda di saat paling tak bahagia. Ah, begitu tegarnya senyummu...
Lalu dengan apa aku akan melihatmu, jika setiap pagi tak ada lagi matahari? Barangkali aku hanya punya mimpi, yg membunuhku pelan-pelan di rerimbun sunyi. Tapi apalah arti mati, jika tiap jengkal gelisahan masih tetap setia kunikmati?
Maka kau bunuh saja sepi, biar penggal resahmu tertimbun pada liang-liang diri. Sebab rindu tetap berarti, meski tak pernah dihayati. Tak usah kau menunggu pagi, sebab jiwaku telah pergi, mencumbuimu di perjamuan yang abadi....
Maka adakah yang patut disesalkan dari geletar kerinduan? Sementara banyak sketsa perjalanan yang belum sempat kulukiskan, dan kau telah pamit untuk meninggalkanku sendirian. Tapi ah, bukankah kita tidak pernah benar-benar pergi. Bukankah kita hanyalah menindah-mindah titik,
tapi tidak pernah benar-benar memilih nasib? Maka pergilah, karena hanya engkaulah yang benar-benar mengerti makna sebuah perjalanan. Barangkali Ibumu telah lama menunjukkan padamu selembar peta menuju jalan pulang.
Tak pernah terfkirkan bahwa takdir akan menuntutku untuk merindukanmu segila ini. Aku mengerti, harusnya tak ada yang perlu dirisaukan dari sebuah pertemuan. Bukankah pertemuan adalah awal perpisahan? Maka aku tak takut menjadi lelaki yang kehilangan, karena begitulah kerinduan telah mengajarkanku hakikat pertemuan.
Kau tahu, dari mana kudapatkan kekuatan untuk terus menyanyikan "I really miss you", "I really want to marry you.."? Aku terilhami oleh sebuah kisah seorang guide di tanah Mekkah yang tiba-tiba mencintai seorang perempuan bermata indah. Tapi sayang, kelak ia baru sadar bahwa perempuannya sudah memiliki calon suami, meski tak pernah ia cintai. Maka sang guide hanya bisa mengirimkan puisi rindu, yang didalamnya menyimpan doa paling lugu, mengharapkan kebahagiaan perempuannya meski ia sendiri merana. Yang pasti ia hanya tahu, perempuannya juga menyimpan rindu untuknya. Benar-benar seperti perjalanan kita, bukan?
Tahukah kau, bagaimana akhir episode cinta sang guide itu? Tahun-tahun berlalu, sang perempuan ternyata tak pernah bersatu dengan calon suaminya. Entah karena kekuatan doa, atau keazalian rasa, dan entah kenapa tiba-tiba ia bisa pergi ke Indonesia dan bertemu kembali dengan perempuan yang selalu dirindukannya. Dan mereka akhirnya bersama selamnya. Indah bukan? Lalu akankah kisah kita seirama dengan roman mereka?
Maka demi cinta dan kehilangan! Tak apa, meski hanya senyummu yang selalu membuatku rindu musim hujan, dan aku menggigil sendirian. Lalu kau punguti titik-titik resah yang menempel di kaca kamarmu, yang memaki-maki nyala hujan semalam.
Tak apa, meski hanya puisi kecilmu yang kau kirimkan pelan-pelan, saat kanvas bunga di meja kerjaku tiba-tiba muram, menyaksikan redup langit karena senja telah merindu malam, dan aku masih sendirian.
Tak apa, meski kau tak pernah menyuguhkan secangkir teh hangat yang kuminum saat pagiku tiba-tiba penat. lantaran malam terlanjur basah, dan sujudku rebah dalam gelisah. menanti kidung doa yang luruh dalam sajak-sajak pasrah.
Maka untuk apa raga, bila rasa begitu menyiksa? untuk apa rasa, bila raga tak pernah ada? untuk apa tanya, bila jawabnya sudah purna? lamat-lamat, kulihat kau menjelma perempuan bermata kaca, mengemasi ranum rindu yang sesak dalam dada...
Kemarilah, katamu, dan lihatlah jahirku di sini. Yang sakit tapi masih tetap berdiri. Jiwa tak beraga kala bintang hati tiada lagi menyala. Tak berguna jika masih kubawa. Takkan nyata walau harus dipaksa. Kumenunggu pagi lagi kini ku lebih mengerti. Betapa dirimu berarti. Sudah jangan terlalu dihayati. Mandi aja sana! Sebelum basi.. heuheu^^. Ah, kau masih bisa bercanda di saat paling tak bahagia. Ah, begitu tegarnya senyummu...
Lalu dengan apa aku akan melihatmu, jika setiap pagi tak ada lagi matahari? Barangkali aku hanya punya mimpi, yg membunuhku pelan-pelan di rerimbun sunyi. Tapi apalah arti mati, jika tiap jengkal gelisahan masih tetap setia kunikmati?
Maka kau bunuh saja sepi, biar penggal resahmu tertimbun pada liang-liang diri. Sebab rindu tetap berarti, meski tak pernah dihayati. Tak usah kau menunggu pagi, sebab jiwaku telah pergi, mencumbuimu di perjamuan yang abadi....
{ 0 comments... read them below or add one }
Posting Komentar