Malam makin dingin. Menggigil. Angina berkesiur rendah, merinaikan riak-riak hati. Kau tahu, Ry, di lelembah hati paling curam, aku masih memendam sejumput harap. Ah, tidak. Tidak. Harapan tiu masih terlampau jauh. Jauh dari alunan mimpi indah. Derai angin yang sejuk terlampau rentan untuk keurasakan. Kau tahu, apa yang membuatku meringis, Ry?
Jangan. Jangan kau tanyaka tentang itu, Ry. Bukan karena kau selalu bergelut dengan kebisuan, bukan karena kau yang terlalu jujur. Bukan. Bukan karena itu, ry. Tapi karena aku tak yakin kau mampu membendung air matamu. Karena aku tak yakin semilir akan mampu berbisik pada helai dedaunan. Karena aku tahu hati tak pernah mati, dan angin takkan pernah berhenti. Dalam keheningan yang sengaja ku cipta, adakah yang patut dihargai dari sebait air mata?
Ry, pada saatnya nanti kau pun akan tahu apa yang tak pernah ku pugnkiri dalam hidupku, apa yang tak pernah kuluakan dalam mimpiku, apa yang paling kusesali dalam perjalananku. Mencintaninya, Ry. Ya, mencintainya. Mencintainya adalah keindahan sekaligud teramat menyakitkan. Sesuatu yang paradoks, bukan? Dan aku harus sesalkan mimpiku, sesalkan diriku. Sesuatu yang teramat gila, bukan?
Betapa dungunya aku. Ketika orang yang kusayangi mengharapkanku, kau tahu, apa yang kemudian kulakukan? Menghindarinya, Ry. Ya, aku menjauhinya. Aku berusaha membencinya. Sesuatu yang amat menyakitkan, bukan? Itulah kelak yang akan selalu membebaniku. Itulah yang paling tidak dapat kumaafkan dalam hidupku, meski untuk diriku sendiri. Itulah yang paling mustahil untuk kulupakan, meski dalam mimpi sekalipun.
Tapi semua itu kulakukan demi harapan sepotong nurani, Ry. Demi senuah jiwa yang telah lama terpaut. Demi sebait keakraban yang telah lama terjalin. Ya, demi alas an yang sangat klasik; sebuah persahabatan. Sesuatu yang sangat mustail untuk kulakukan ; mencipta keretakan, sementara aku menari dalam derail keindahan. Tidak, Ry, tidak! Aku tak kuasa melakukan semua itu. Biarlah aku memilih menjadi pecundang dalam kemunafikan daripada harus mengorbankan kebersamaan.
Yah…, akulah yang harus merelakan segalanya. Dan lagi-lagi, akulah yang harus menangis dalam luka. Karena aku yakin, apa yang telah Tuhan tulis dalam hidupku, barangkali itulah yang terbaik, meski bukan untukku, tapi untuk mereka. Ya, merekalah yang harus bahagia, bukan aku. Hanya yang membuatku kecewa, kenapa harus ada cinta yang tercipta jika semuanya hanya luka sia-sia. Ry, hanya satu yang kupinta darimu. Aku hanya ingin kau berdoa untukku, Ry. Doakan, agar aku mampu memaafkan diriku. Memaafkan kebisuan jiwaku ….
{ 0 comments... read them below or add one }
Posting Komentar