Pages

Tampilkan postingan dengan label Sajak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sajak. Tampilkan semua postingan
Sabtu, 05 Juni 2010

Kau Balut Luka Dengan Keheningan Doa


Sebelum kau benar-benar pergi, meninggalkan rubaiat sunyi yang kau cipta bersama mimpi, berhentilah sejenak. Ya, hanya sejenak. Semacam jeda yang telah memberimu dahaga fatamorgana. Katamu, hidup ini lelah. Dan kegelisahan paling renta adalah kekalutan rasa yang tiba-tiba muncrat, melumuri jengkal demi jengkal perjalanan rindumu yang menggelora.

Maka marilah kita reguh makna secangkir kopi hangat di Cafe ini, sembari menikmati sisa-sisa mimpi di rentetan hari-hari yang membelenggu nurani. Meski hanya sekedar dongeng usang yang kau hayati, percayalah, kita telah memulainya dari hati sendiri, di tempat paling sunyi ini.

Tak seorang yang benar-benar mengerti akan pemahamannya sendiri, termasuk juga dirimu. Maka sebesar apapun kau membenci orang yang seharusnya paling kau cintai, penyesalan sia-siamu akan segera menanti. Hanyalah rerintik sunyi yang akan menusuk-nusuk jantungmu setajam belati.

Hampir setiap berkata, kau selalu mengawalinya dengan "percaya nggak?". Seolah kau tidak pernah benar-benar percaya pada kata-katamu, pun juga kehidupanmu. Padahal, sebelum berkata, sungguh, aku telah paham makna keterasingan yang lama menjeratmu. Kau teralienasi dari ruhmu sendiri. Maka mengapa kau harus masuk pada labirin yang kau ciptakan sendiri. Ini ironi sepotong mimpi...

Pada akhirnya aku tahu, lidahmu nyaris kelu untuk mengungkapkan gemuruh kata-kata. Padahal, sungguh, aku bisa menerka betapa magma laramu terus mendidih dalam dada. Meski tak ada satu kalimat pun yang mampu menyuguhkan kepastian, tapi sungguh, ya lagi-lagi sungguh, kau telah berhasil membalut luka dengan keheningan doa-doa. Tanpa sadar, kau telah mengajariku makna ketabahan; bahwa kehilangan tak semestinya membawa penderitaan.

Malam ini kita telah berusaha melumat matahari. Menyemai mimpi menjadi serpih-serpih sunyi. Mengubur ego dalam liang-liang sepi...

Pohonmu Tak Pernah Sepi


Pertama kali aku memandangmu, gemerisik dedahan kecil di hatiku melambai teduh. Seteduh rindang rerantingmu yang merimbun malam, meski tak kelam. Aku tak pernah percaya bahwa kau menganggapnya sebagai pohon yang tetap sepi, sendiri dalam sunyi. Tidak. Aku sama sekali tak percaya. Lihatlah, betapa akarnya semakin kokoh menghunjam bumi, dahan-dahannya sudah menulang tinggi menggapai langit, daun-daunnya mulai gemulai sungguh aduhai. Ya, pohonmu telah lama berjejak bersama tapak-tapak kakimu yang melangkah pelan, perlahan….

Aku akan setia berteduh di bawah hamparan pohonmu yang sejuk. Sesejuk kalimat-kalimat sunyimu yang bergeletar, menampar-nampar kesadaran imajiku yang terkapar. Sepimu memang menjelma orkestra di hutan-hutan, tapi begitu sangat kunikmati seperti guruh ombak di lautan.

Di satu senja yang temaram, kulihat pohonmu menyisakan siluet yang berarak lembayung. Merangkai sktesa lukisan lazuardi. Merona merah. Semerah kalbumu. Sungguh, sunyi begitu menggetarkan seluruh sendi-sendi jiwaku yang kering, tidak seperti dedaunmu yang biru. Maka sejak saat itulah, janjiku mulai terpatri; aku akan belajar pada pohon sunyimu, meski kerap tak mengerti.

Biarlah kau selalu berkata pada angin, bahwa sepi-sunyi masih merejam pohonmu, jiwamu dan pikiranmu, karena tak satupun kata-kata ini mampu memakanai hakikat sunyi di relung sukmamu. Aku terlambat mengunjungimu kali ini, maka biarkan hanya riak-riak tulisan ini yang berusaha menemanimu dalam meniti sepi dan sunyi, hingga pohonmu tak lagi sendiri...

Life Is a Gift


Life is a Gift. Hidup itu hadiah....
Maka setiap awal membuka mata, bersyukur adalah hal pertama yang harus dilakukan, atas kehidupan yang masih memberi kesempatan, atas keberadaan senyum semangat dari orang-orang yang menyayanngi dan kita sayangi, serta atas keyakinan bahwa hari akan menjadi hari yang menakjubkan...

--Have a great day--

"Maka nikmat apakah yang hendak kau dustai?" Begitu Tuhan selalu mengingatkan kita tentang makna hidup. Tentang proses pencarian kejatidirian yang sebenarnya. Makna yang kadang kerap kita lupakan, membuat kita terbuai dengan egoisme yang sesak. Bagitu banyak hal yang belum kita syukuri, tapi kita telah terlanjur mencercanya. Begitu banyak hal yang terlanjur kita dustai, padahal kita benar-benar membutuhkannya.

Life is a Gift. Hidup itu hadiah, begitu isi massage sobatku dari Palu. Maka sejenak kemudian saya berfikir. Saya terhenyak, merenungi setiap jengkal kalimat yang mengalir bagai dipenuhi daya magis. Ternyata begitu banyak "sesutu" yang saya lewatkan.
hari ini sebelum engkau berfikir untuk mengucapkan kta-kata kasar, ingatlah akan seseorang yang tidak bisa bicara....

sebelum engkau mengeluh mengenai citarasa makananmu, ingatlah akan seseorang yang tidak punya sesuatu untuk dimakan....

hari ini sebelum engkau mengeluh tentang hidupmu, nestapa kegelisahanmu, ingatlah akan seseorang yang begitu mengharapkan begitu cepat meninggalkan dunia....

sebelum engkau mengeluh tentang begitu berat dan capeknya akan pekerjaanmu, ingatlah akan para pengangguran, orang cacat, dan mereka yang menginginkan pekerjaanmu.....

sebelum engkau menuding atau menyalahkan orang lain, ingatlah bahwa tidak ada seorangpun yang tidak berdosa......dan kita berharap pengadilan dari Tuhan....

dan ketika beban hidup tampaknya akan menjatuhkanmu, pasanglah senyuman di wajahmu dan berterimakasihlah kepada Tuhan karena engkau masih hidup dan ada di dunia ini....

life is a Gift....
maka jalanilah, nikmatilah, rayakan, dan isilah....

NIKMATILAH SETIAP SAAT DALAM HIDUPMU....KARENA...MUNGKIN ITU TIDAK AKAN TERULANG LAGI........

Ketika Perempuan Sedang Terluka


Saya tidak terbiasa menulis tentang perempuan secara vulgar, apalagi menyangkut dunia perasaan yang menyayat, ritme tangis yang menusuk, nestapa keputusasaan yang menyentak-nyentak naluri. Saya tidak terbiasa, karena dalam nalar kelelakian yang sejati, kita sering dihadapkan pada kondisi psikologi perempuan yang kadang memang paradoks. Dan ketika paradoksalitas itu kian kentara, yang muncul dihadapan kita hanyalah anomali-anomali, ambivalensi-ambivalensi dan term-term lain yang menjebak pada labirin. Ya, paradoksalitas itu saya temukan siang tadi, di pojok kantin IAIN Supel yang pengap, sesak oleh asap rokok yang menari-nari di helai angin.

Maka izinkan saya sedikit bercerita tentang paradoksalitas itu, yang saya tangkap dalam lembar hidup seorang perempuan yang katanya bernama Hany, perempuan supel dan menurut kebanyakan temannya adalah ”lincah”. Saya tidak terlalu jauh menginterogasi diksi lincah yang dikatakan temannya itu. Bagi saya cukup dengan hanya melihat guratan matanya, meski bukan seorang psikolog, saya yakin bahwa dia sedang ”terluka”. Luka yang dibiarkan terus-menerus menganga, nelangsa dalam keterasingan yang panjang dan melelahkan. Ya, dia sebenaranya sedang terasing dengan dirinya sendiri. Sedang berusaha untuk keluar dari himpitan nyeri yang kerap mengungkungnya.

”Semalam aku cuma menyulut satu batang rokok kok. Aku sudah lama tidak dugem, sudah gak minum lagi. Belikan aku rokok sekarang ya, kak. Satu aja....” Teman saya diam tak bergeming. Manatapnya dengan penuh ketakmengertian. Penuh kebingungan antara mengiakan atau mencegahnya.

Saya sendiri hanya tersenyum. Diam. Mendengarkan Hany terus merajut dan akhirnya permintaan itu dikabulkan. Sebungkus rokok Sampoerna Mild tergeletak di atas meja makan, membuat nurani saya mengambang antara tertawa dan miris, antara mimpi dan ironi. ”Sekarang, dia sudah tidak separah dulu.....” begitu temanku pernah berujar. Dalam hati saya berikir, jangan-jangan saya lebih parah ketimbang dia. Bukankah kita kadang munafik pada diri sendiri? Kita cenderung tidak mengakui kelemahan dan kesalahan kita...

Mendengar pengakuannya yang ”sangat-sangat jujur”, saya sama sekali tak terkejut. Jujur menyampaikan ketidakjujuran diri sendiri adalah hal yang sangat langka. Saya berani acungkan dua jempol untuk kejujurannya. Ceritanya mengalir tanpa hambatan apapun, bahkan hal-hal yang menurut mainstream umum tidak layak dibicarakan. Tapi, apa hak saya melarangnya berbicara, mengeluarkan gumpalan kekecewaan yang memmbuncah di hatinya?

”Saya sedang sumpek, kak. Saya nggak mau ketemu selingkuhanku, karena saya juga selingkuh..!!” Katanya manja. Saya masih juga diam. Otakku mulai bekerja; ada apa sebenarnya dalam logika perempuan? Ahai...gerangan apakah yang sedang terjadi? Disinilah menurut saya letak keunikan kondisi psikologis Hany, seorang perempuan yang sadar tapi tidak menyadari, paham tapi tidak memahami, begitu kata temanku. Bukankah manusia memang makhluk yang penuh paradoks? Tak ada poin apapun ketika kita berusaha mengingatkan orang yang tidak lupa, berusaha menyadarkan orang yang tidak gila ...

Maka, saya teringat apa yang pernah dikatakan Sigmund Frued, tokoh psikoanalisis itu, bahwa manusia secara naluriah memang memiliki alter ego. Bukankha kita sering memiliki seribu wajah? Dan, bagi saya Hany sedang menampakkan wajah yang lain. Raut yang ceria meski jiwanya terluka, wajah yang dipaksa untuk tetap tersenyum dalam jerat nista. Siapa yang sanggup menelan luka saat jiwa kian renta?

Disinilah letak ketegaran seorang Hany, teman baru saya itu. Tegar dalam keterpurukan yang menghunjam. Saya sama sekali tak menganggap bahwa ia adalah perempuan amoral, bejat, asusila dan stigma-stigma buruk lainnya. Bagi saya, Hany adalah diri Hany seutuhnya. Dan saya berharap, semoga ia tidak tersinggung tatkala membaca tulisan tak berarti ini. Tak ada maksud apapun, kecuali bahwa kita perlu belajar pada segala sesuatu yang telah terjadi, belajar pada orang lain dan diri sendiri. Bukankah dialektika antara baik-buruk, kaya-msikin, hitam-putih adalah keniscayaan hidup? Dan disinilah konseptualisasi amar-ma’ruf dan nahi-mungkar menemukan titik implikasi logisnya dalam menata perjalanan hidup ini. Dan disini pulalah, ajaran kerendahan hati menemukan kesejatiannya; bahwa tak ada sesuatu apapun yang benar-benar sempurna, kecuali Tuhan.

Maka, sejatinya kita tak perlu malu karena pernah menyandang gelar-gelar buruk. Kita tak perlu berkecil hati, apalagi meratapi diri. Kita tak perlu malu pada manusia, karena bukan mereka yang memberi kita makan, yang memberikan kita hidup. Tapi malulah pada diri sendiri, malu pada Tuhan tatkala kita tak pernah berusaha memperbaiki diri dan menjadi lebih baik....

Disaat Kusakit Tuhanlah Yang Menyembuhkanku


Hampir satu setengah bulan saya tidak online. Kesenangan berselancar di dunia "antah-berantah" macet total. Banyak komentar yang tak sempat saya tanggapi. Banyak pertanyaan yang tak bisa saya jawab. Maka saat ini, saya ucapkan MOHON MAAF kepada kawan-kawan yang sudi mampir sejenak di gubukku ini, lalu bersedia sharing, karena barangkali kommen dan pertanyaanya terlambat saya jawab. Ah, betapa kita tak memiliki kekuatan seujung rambut pun untuk sekedar mengejar waktu.
–ooOoo–

Sebulan yang lalu, Tuhan mengingatkanku bahwa sehat adalah barang termahal dalam kehidupan ini. Maka, tak ada satu pun harta yang patut kita banggakan selain kekayaan sehat; sehat raga, sehat jiwa, sehat akal, sehat harta. Kewajiban kita hanyalah menjaganya, memeliharanya. Tapi, kadang kita terlanjur menyepelekannya, dan bahkan mengabaikannya.

Ketika dokter menyimpulkan bahwa penyakitku adalah infeksi lambung, saya tidak heran, juga tidak kaget. Sejak kecil, saya sudah akrab dengan penyakit tifus, meski dengan stadium rendah. Maka "kamu harus istirahat total, tidak boleh makan yang kasar", saran dokter. Dan saya merasa Tuhan telah mengembalikanku ke masa kecil dulu.

Saya teramat sadar, sadar sesadar-sadarnya, apa yang saya rasakan saat itu adalah buah dari apa yang saya lakukan sebelumnya. Saya kurang mawas diri, kurang perhatian dengan waktu; bahwa selama kita berada di dunia, segalanya tetap memiliki BATAS. Ada jeda yang harus kita indahkan. Ada nuansa yang harus kita rasakan. Berlebihan, dalam hal apapun tetaplah tidak dianjurkan.

Maka ketika saya sakit, Tuhanlah yang menyembuhkannya. "Wa idza maridhtu, fa huwa yasyfiin", kata Nabi Ibrahim as dalam Qur'an. Ya, sakit adalah keniscayaan hidup. Tak ada sehat jika tak ada sakit. Tak ada kaya jika tak ada miskin. Di sinilah barangkali, konsep binnary oposition-nya Ferdinand de Saussure, filsuf Strukturalis itu memiliki titik pijak relevansinya. Dan karenanya, tak ada yang perlu disesalkan dari "rasa sakit", kecuali jika kita tak mampu mengambil ibroh dan hikmah darinya.

Bagaimana pun kita semua maklum, bahwa kadang kesalahan selalu kita ulang-ulang. Kita sering kali lupa untuk belajar pada kesalahan. Semoga Tuhan selalu melindungi kita. Amin...

Elegi Sepotong Jiwa



Malam makin dingin. Menggigil. Angina berkesiur rendah, merinaikan riak-riak hati. Kau tahu, Ry, di lelembah hati paling curam, aku masih memendam sejumput harap. Ah, tidak. Tidak. Harapan tiu masih terlampau jauh. Jauh dari alunan mimpi indah. Derai angin yang sejuk terlampau rentan untuk keurasakan. Kau tahu, apa yang membuatku meringis, Ry?

Jangan. Jangan kau tanyaka tentang itu, Ry. Bukan karena kau selalu bergelut dengan kebisuan, bukan karena kau yang terlalu jujur. Bukan. Bukan karena itu, ry. Tapi karena aku tak yakin kau mampu membendung air matamu. Karena aku tak yakin semilir akan mampu berbisik pada helai dedaunan. Karena aku tahu hati tak pernah mati, dan angin takkan pernah berhenti. Dalam keheningan yang sengaja ku cipta, adakah yang patut dihargai dari sebait air mata?

Ry, pada saatnya nanti kau pun akan tahu apa yang tak pernah ku pugnkiri dalam hidupku, apa yang tak pernah kuluakan dalam mimpiku, apa yang paling kusesali dalam perjalananku. Mencintaninya, Ry. Ya, mencintainya. Mencintainya adalah keindahan sekaligud teramat menyakitkan. Sesuatu yang paradoks, bukan? Dan aku harus sesalkan mimpiku, sesalkan diriku. Sesuatu yang teramat gila, bukan?

Betapa dungunya aku. Ketika orang yang kusayangi mengharapkanku, kau tahu, apa yang kemudian kulakukan? Menghindarinya, Ry. Ya, aku menjauhinya. Aku berusaha membencinya. Sesuatu yang amat menyakitkan, bukan? Itulah kelak yang akan selalu membebaniku. Itulah yang paling tidak dapat kumaafkan dalam hidupku, meski untuk diriku sendiri. Itulah yang paling mustahil untuk kulupakan, meski dalam mimpi sekalipun.

Tapi semua itu kulakukan demi harapan sepotong nurani, Ry. Demi senuah jiwa yang telah lama terpaut. Demi sebait keakraban yang telah lama terjalin. Ya, demi alas an yang sangat klasik; sebuah persahabatan. Sesuatu yang sangat mustail untuk kulakukan ; mencipta keretakan, sementara aku menari dalam derail keindahan. Tidak, Ry, tidak! Aku tak kuasa melakukan semua itu. Biarlah aku memilih menjadi pecundang dalam kemunafikan daripada harus mengorbankan kebersamaan.

Yah…, akulah yang harus merelakan segalanya. Dan lagi-lagi, akulah yang harus menangis dalam luka. Karena aku yakin, apa yang telah Tuhan tulis dalam hidupku, barangkali itulah yang terbaik, meski bukan untukku, tapi untuk mereka. Ya, merekalah yang harus bahagia, bukan aku. Hanya yang membuatku kecewa, kenapa harus ada cinta yang tercipta jika semuanya hanya luka sia-sia. Ry, hanya satu yang kupinta darimu. Aku hanya ingin kau berdoa untukku, Ry. Doakan, agar aku mampu memaafkan diriku. Memaafkan kebisuan jiwaku ….

Sajak Rindu


Pernahkah kau bayangkan
Rangkaian mimpi yang kupahat di temaram langit
Adalah wujud rinduku yang luruh dalam hening
Dan tenggelam dalam kerik jengkerik di beranda

Pernahkah kau bayangkan
Disetiap rentang waktu yang riuh
dimana kurekat erat binar matamu
Selalu kutitipkan harap disana
Dalam desau angin dan desir gerimis senja

Pernahkah kau bayangkan
Pada kelopak mawar disudut taman
Dan jernih embun yang menitik diatasnya
Kusimpan gigil gairahku yang membara padamu
Disetiap tarikan nafas
saat kulukis paras purnamamu di kanvas hatiku

Mencari Diri Pada Sepotong Hatimu


Dulu, saya sering berfikir bahwa menjadi orang yang benar-benar jadi orang teramat mudah. Hari berganti hari, sementara apa yang kucari tak kunjung hadir. Lantas, ada semacam skeptisisme yang tiba-tiba menggelayut pedih paa liang-liang diri. Ah, saya lagi-lagi berfikir, bahwa sebenarnya kita tidak pernah benar-benar mencari-cari.

Maka, sebelum nujuman burung gagak yang kemudian menerka nasib buruk untukku datang menjemput, saya pergi berlari, meninggalkan sepercik matahari. Tapi, lagi-lagi saya berfikir, kita tidak pernah benar-benar pergi. Kita hanyalah memindah-mindah titik, tapi tidak benar-benar memilih nasib. Ah, persetan dengan nasib! Nasib hanyalah pseudo hidup yang terangkai seperti jaring laba-laba di sudut dunia.


Tapi, bukankah setiap kita punya nasib? Dan, bukankah setiap nasib memiliki dunianya masing-masing? Saya jadi teringat film The Last Samurai dalam TRANS TV Box Office. Ketika itu sang panglima perang sedang berada di tengah kepungan musuh. Hanya tinggal berdua dengan temannya. Di sampingnya mayat prajurit terkapar bergelimpangan. Ah, panglima itu masih menatap sekeliling. Pandangannya begitu nanar. Seolah terpisah pergi jauh antara jiwa dan raganya. Bendera telah dikibarkan. Genderang menang pihak musuh telah bergemuruh.

Dengan segenap kekuatan yang tersisa, sang teman bertanya pada Panglima, "apakah kau yakin manusia mampu mengubah nasibnya?" Pertanyaan menohok. Tepat ketika keputus asaan telah menjadi kepastian. Ketika ketakberdayaan menjadi keniscayaan.

"Ya, manusia harus berusaha semampunya, hingga ia tahu nasibnya sendiri ..."
Segalanya telah berkahir. Tak ada lagi peperangan.
Tinggal sunyi yang bernyanyi. Tinggal rindu yang kian pilu.


Ah, ku ingin menikamti sepotong sajak dulu ....

Antara Cinta dan Dusta


Seberapa validkah kita mampu mengukur antara kesetiaan cinta dan logika dusta? Dalam bahasa yang lebih sederhana, bisakah kita mencintai seseorang sekaligus medustainya dalam waktu yang bersamaan?

Pertanyaan ini mungkin terkesan apologetik dan paradoks. Apologetik, karena dalam konteks tertentu, kita seringkali terlena pada pembelaan diri yang berlebihan ketika konflik internal dalam hati menuai selaksa kepedihan. Paradoks, karena term cinta yang katanya sakral itu terjerembab pada hingar-bingar dominasi rasa yang sebenarnya hanyalah letupan-letupan ketakberdayaan membawa diri saja.

Tapi toh kita seringkali memaknai cinta dan rasa dengan logika kita sendiri, dengan defenisi dan terminologi kita sendiri. Maka paradoks cinta itu kian kentara, dan cenderung ambivalens. Bahkan, cinta sering dijadikan kambing hitam untuk mencari stigma-stigma pembenarannya.

“Tapi itu bukan cinta!” Begitu mungkin kilah para pujangga. Itu hanya nafsu yang dibiaskan dengan gelora cinta! Ya, ya.... kita bebas mendefinisikan cinta semau kita, sesuka kita. Terserah para ahli mengartikan cinta menurut versinya masing-masing. Ada cinta buta, cinta mati, cinta palsu, dan cinta-cinta yang lain. Mau ada dusta yang terselubung dalam cinta, mau ada benci yang dicaci dalam hati, mau ada bahagia yang dieja dalam suka, silahkan!

Hanya satu yang barangkali perlu disadari, bahwa memiliki dan kehilangan adalah dua sisi kehidupan. Silahkan pilih yang kita sukai, silahkan genggam yang kita miliki, toh saatnya nanti kita akan kehilangannya....

Maka Nikmatilah Karena Inipun Akan Berlalu


Saat di depanmu terhidang nasi sayur tahu tempe, mengapa mesti sibuk berandai-andai dapat makan ikan, daging atau ayam ala resto? Padahal kalau saja kau nikmati apa yang ada tanpa berkesah, pastilah rasanya tak jauh beda. Karena enak atau tidaknya makanan lebih tergantung kepada rasa lapar dan mau tidaknya kita menerima apa yang ada. Maka nikmatilah, karena jika engkau terus mengharap makanan yang lebih enak, makanan yang ada di depanmu akan basi, padahal belum tentu besok engkau akan mendapatkan yang lebih baik daripada hari ini.

Saat engkau menemui udara pagi ini cerah, langit hari ini biru indah, mengapa sibuk mencemaskan hujan yang tak kunjung datang? Padahal kalau saja kau nikmati adanya tanpa kesah, pastilah kau dapat mengerjakan begitu banyak kegiatan dengan penuh kegembiraan. Maka nikmatilah, jangan malah resah memikirkan hujan yang tak kunjung tumpah. Karena jika kau tak menikmatinya, maka saat tiba masanya hujan menggenangi tanahmu, kau pun kan kembali resah memikirkan kapan hujan berhenti.

Percayalah, semua ini akan berlalu, maka mengapa harus memikirkan sesuatu yang tak ada, namun suatu saat pasti akan hadir jua? Sedang hal itu hanya akan membuat kita kehilangan keindahan hari ini karena mencemaskan sesuatu yang belum pasti.

Saat engkau memiliki sebuah pekerjaan dan mendapatkan penghasilan, meski tak sesuai dengan yang kau inginkan, mengapa mesti kesal dan membayangkan pekerjaan ideal yang jauh dari jangkauan? Padahal kalau saja kau nikmati apa yang kau miliki, tentu akan lebih mudah menjalani. Maka nikmatilah, karena bisa jadi saat kau dapatkan apa yang kau inginkan, ternyata tak seindah yang kau bayangkan. Maka nikmatilah, karena bisa jadi saat sudah kau lepaskan, kau akan menyesal, ternyata begitu banyak kebaikan yang tidak kau lihat sebelumnya. Ternyata begitu banyak keindahan yang terlewat tak kau nikmati.

Maka nikmatilah, dan jangan habiskan waktumu dengan mengeluh dan menginginkan yang tidak ada. Maka nikmatilah, karena suatu saat, semua ini pun akan berlalu. Maka nikmatilah, jangan sampai kau kehilangan nikmatnya dan hanya mendapatkan getirnya saja. Maka nikmatilah dengan bersyukur dan memanfaatkan apa yang kau miliki dengan lebih baik lagi agar besok menjadi sesuatu yang berguna. Maka nikmatilah karena ia akan menjadi milikmu apa adanya dan hanya saat ini saja. Sedang besok bisa jadi semua telah berganti.

Jika hari ini engkau menderita, maka nikmatilah, karena ini pun akan berlalu, jangan biarkan dia pergi, kemudian ketika kau harus lebih menderita suatu saat nanti, engkau tidak sanggup menahannya. Maka nikmatilah rasa sedihmu, dengan mengenang kesedihan yang lebih dalam yang pernah kau alami. Dengan membayangkan kesedihan yang lebih memar pada hari akhir nanti jika kau tak dapat melewati kesedihan kali ini, dengan menemukan penghapus dosa pada musibah yang kau alami kini.

Maka nikmatilah rasa galaumu, dengan betafakkur lebih banyak atas permasalahan yang kau hadapi. Dengan memikirkan kedewasaan yang kan kau gapai atas resah dan galau itu. Dengan kematangan yang akan kau miliki setelah berhasil melewati semua ini. Maka nikmatilah rasa marahmu, dengan kemampuan mengendalikan diri. Dengan memikirkan penggugur dosa yang kan kau dapatkan. Dengan mendapatkan kemenangan atas diri pribadi yang tak semua orang dapat lakukan.

Maka nikmatilah, dengan berpikir positif atas apa pun yang kau jalani, atas apapun yang kau hadapai, atas apapun yang kau terima, karena dengan begitu engkau akan bahagia. Maka nikmatilah, karena ini pun akan berlalu jua. Maka nikmatilah, karena rasa puas dan syukur atas apa yang telah kita raih akan menghadirkan ketenteraman dan kebahagiaan. Sedang ketidakpuasan hanya akan melahirkan penderitaan. Maka nikmatilah, karena ini pun akan berlalu. Maka nikmatilah, agar engkau tidak kehilangan hikmah dan keindahannya, saat segalanya telah tiada. Maka nikmatilah, agar tak hanya derita yang tersisa saat semua telah berakhir jua

Sekuntum Doa Untuk Bunda


Bunda...
Tak ada yang patut diawali dalam rislah sunyi ini kecuali untaian kata maaf, karena barangkali anakmu yang durhaka ini terlambat menyuguhkan ucapan selamat. Meski hanya ucapan, semoga saja menjadi kenyataan, bukan hanya kepura-puraan, apalagi sekedar seremonial yang dipaksakan. Itu yang ku inginkan.

Bunda...
Sungguhpun telah kuciptakan jutaan sajak untuk memujimu, niscaya kemuliannmu belum terlampaui. Sembilan bulan kau mengandungku, adalah keajaiban besar yang diabadkan sejarah. Maka tidak berlebihan bila kebesaran jiwamu adalah tonggak peradaban dunia. Dan kelahiran dunia adalah keringat-keringat surgawimu...

Bunda...
Malam-malam di perantauan adalah gelora kesunyian. Maka mengingatmu adalah kerinduan yang menentramkan, apalagi ketika wajahmu tiba-tiba hadir dalalm doa panjangku. Malam pun bergerimis, menyemai bait-bait tangis. Ah, kerinduan itu....

Bunda...
Izinkan anakmu memanggil namamu dengan sebutan BUNDA, meski sebelumnya sering memanggilmu EMAK. Tak usah malu, Bunda, karena aku, anakmu, sungguh benar-benar menyayangimu...Dan doaku selalu menyertaimu...

Lelaki Yang Selalu Sendiri


I really miss you. I really want to marry you...I'm trying to follow my heart. So, just follow your heart too. Sorry... Me, the unlucky looser...

Maka adakah yang patut disesalkan dari geletar kerinduan? Sementara banyak sketsa perjalanan yang belum sempat kulukiskan, dan kau telah pamit untuk meninggalkanku sendirian. Tapi ah, bukankah kita tidak pernah benar-benar pergi. Bukankah kita hanyalah menindah-mindah titik,
tapi tidak pernah benar-benar memilih nasib? Maka pergilah, karena hanya engkaulah yang benar-benar mengerti makna sebuah perjalanan. Barangkali Ibumu telah lama menunjukkan padamu selembar peta menuju jalan pulang.


Tak pernah terfkirkan bahwa takdir akan menuntutku untuk merindukanmu segila ini. Aku mengerti, harusnya tak ada yang perlu dirisaukan dari sebuah pertemuan. Bukankah pertemuan adalah awal perpisahan? Maka aku tak takut menjadi lelaki yang kehilangan, karena begitulah kerinduan telah mengajarkanku hakikat pertemuan.

Kau tahu, dari mana kudapatkan kekuatan untuk terus menyanyikan "I really miss you", "I really want to marry you.."? Aku terilhami oleh sebuah kisah seorang guide di tanah Mekkah yang tiba-tiba mencintai seorang perempuan bermata indah. Tapi sayang, kelak ia baru sadar bahwa perempuannya sudah memiliki calon suami, meski tak pernah ia cintai. Maka sang guide hanya bisa mengirimkan puisi rindu, yang didalamnya menyimpan doa paling lugu, mengharapkan kebahagiaan perempuannya meski ia sendiri merana. Yang pasti ia hanya tahu, perempuannya juga menyimpan rindu untuknya. Benar-benar seperti perjalanan kita, bukan?

Tahukah kau, bagaimana akhir episode cinta sang guide itu? Tahun-tahun berlalu, sang perempuan ternyata tak pernah bersatu dengan calon suaminya. Entah karena kekuatan doa, atau keazalian rasa, dan entah kenapa tiba-tiba ia bisa pergi ke Indonesia dan bertemu kembali dengan perempuan yang selalu dirindukannya. Dan mereka akhirnya bersama selamnya. Indah bukan? Lalu akankah kisah kita seirama dengan roman mereka?

Maka demi cinta dan kehilangan! Tak apa, meski hanya senyummu yang selalu membuatku rindu musim hujan, dan aku menggigil sendirian. Lalu kau punguti titik-titik resah yang menempel di kaca kamarmu, yang memaki-maki nyala hujan semalam.

Tak apa, meski hanya puisi kecilmu yang kau kirimkan pelan-pelan, saat kanvas bunga di meja kerjaku tiba-tiba muram, menyaksikan redup langit karena senja telah merindu malam, dan aku masih sendirian.

Tak apa, meski kau tak pernah menyuguhkan secangkir teh hangat yang kuminum saat pagiku tiba-tiba penat. lantaran malam terlanjur basah, dan sujudku rebah dalam gelisah. menanti kidung doa yang luruh dalam sajak-sajak pasrah.

Maka untuk apa raga, bila rasa begitu menyiksa? untuk apa rasa, bila raga tak pernah ada? untuk apa tanya, bila jawabnya sudah purna? lamat-lamat, kulihat kau menjelma perempuan bermata kaca, mengemasi ranum rindu yang sesak dalam dada...

# # #

Kemarilah, katamu, dan lihatlah jahirku di sini. Yang sakit tapi masih tetap berdiri. Jiwa tak beraga kala bintang hati tiada lagi menyala. Tak berguna jika masih kubawa. Takkan nyata walau harus dipaksa. Kumenunggu pagi lagi kini ku lebih mengerti. Betapa dirimu berarti. Sudah jangan terlalu dihayati. Mandi aja sana! Sebelum basi.. heuheu^^. Ah, kau masih bisa bercanda di saat paling tak bahagia. Ah, begitu tegarnya senyummu...

Lalu dengan apa aku akan melihatmu, jika setiap pagi tak ada lagi matahari? Barangkali aku hanya punya mimpi, yg membunuhku pelan-pelan di rerimbun sunyi. Tapi apalah arti mati, jika tiap jengkal gelisahan masih tetap setia kunikmati?

Maka kau bunuh saja sepi, biar penggal resahmu tertimbun pada liang-liang diri. Sebab rindu tetap berarti, meski tak pernah dihayati. Tak usah kau menunggu pagi, sebab jiwaku telah pergi, mencumbuimu di perjamuan yang abadi....

Pertemuan Hujan


Kuceritakan kembali kisahmu, tentang peretemuan hujan yang memunguti sisa resahmu tadi malam. Harusnya tak ada kebimbangan, meski gerimis selalu, dan akan selalu merindukan pertemuan. Dan entah sampai kapan kau akan terus berjalan sendirian, mengemasi getar-getar hujan yang tak kunjung usai.

Maka seperti hujan yang telah menjadi janji, rindu harus tetap dilunasi, meski pertemuan tak pernah pasti. Tapi bukankah kepastian tidak pernah benar-benar terjadi? Kita hanya sanggup meraba waktu di antara jibunan jerami, yang kita tumpuk dari sisa-sisa mimpi.

Ah, bukankah waktu hanya ada dalam pikiran kita? Dan pada tiap derap hujan, harusnya tak ada jarak, yang selalu memisahkan pikiran dengan kenyataan. Haha...sedang bicara apa kita, Fa? Berbicara tentang peta kebencian yang memburu kita di ujung jalan? Atau tentang redup senja yang akan membunuhmu pelan-pelan?

Seperti Graha Amartha yang pongah, pastinya kau lebih tahu tentang makna pasrah. Maka tak heran bila suatu ketika kutemukan sebaris kalimat di status facebook-mu: "Saat aku melakukannya dengan keharusan, bukan berarti aku menyerah. Ketika aku dihadapkan pada kewajiban, bukan juga aku pasrah. Sewajarnya saja, tak harus semuanya berubah, tapi harapku tak hanya mampu menengadahkan tangan mengharap berkah".

Bahwa kemegahan tak bisa jauh dari kesuyian, kau pasti tak bisa membantahnya. Bukankah di tengah gigil kamarmu yang dingin kau masih merindukan hujan? Sesunyi hujan yang selalu mengantarkan pertemuan, hatimu itukah yang berjalan sendiri di pinggir jalan? Maka aku datang menemanimu, dengan kata-kata yang kupunya, meski kadang jenaka dan seringkali terbata-bata.

Barangkali benar kata Douglash Malloch; bila kau tidak bisa jadi pohon Cemara di bukit, jadilah belukar yang indah di parit. Bila tidak bisa jadi belukar di parit, jadilah rumput yang membuat jalan-jalan semarak. Bukan kemasyhuran yang menentukan seseorang menang, melainkan kewajaran. Dan kau telah melakukan kewajaran itu dengan sangat purna bukan?

Seharusnya, ya seharusnya kau mencintai dirimu sendiri. Tapi ah, untuk mencintai dirimu sendiri, kau butuh orang lain untuk mencintaimu. Disitulah barangkali kelebihanmu, Fa. Kau melakoni hidup sebagaimana kau yakin orang lain menganggap dirimu seharusnya begitu. Kau hidup demi Abahmu, Ummimu, semua orang, kecuali dirimu sendiri...

Barangkali, ya, lagi-lagi barangkali tidak berlebihan bila dulu kukabarkan, bahwa kau seringkali membalut luka dengan keheningan doa-doa. Maka kutitipkan saja selembar asa, yang menemuimu tanpa bahasa. Dan pertemuan hujan, mendendangkan nyanyian di ujung malam...

Membaca Puisimu


Kudapati degup puisimu pada derap sunyi, saat dengan mata nanar kupandangi getir hujan yang memanggil-manggil gigil doaku di ujung malam. rinduku barangkali hanyalah isyarat imaji yang mengaliri selokan-selokan di pinggir jalan;
i'tikaf keheningan.

membaca puisimu sebelum redup matahari adalah melumat waktu yang terkapar di trotoar; lalu kukirim untukmu semangkok es tebu di terik siang yang membakar. tak apa, meski akhirnya kita hanya sanggup menikmati munajat sepi selarik puisi;
makrifat sunyi.

aku ingin kembali mengirimimu surabaya sore, saat denting rel kereta merindukan orkestra kesunyian di hutan-hutan. lantaran selalu kubaca puisimu dengan geletar mimpi, menekuri zikir hati di ujung sunyi. pada kerlap cahaya merkuri yang memaki-maki surabaya sore tadi;
di sini, aku masih sendiri.

maka kubayangkan desah puisimu adalah sejuk semilir gunung tangkuban perahu, tempat dimana wangi peluh di tubuhmu menyeruap seperti aroma kebun teh ketika hampir panen, tapi bandung masih berkabut dingin, saat perjalanan rinduku luruh di tangkai-tangkai angin.

ah, rupanya masih ingin selalu kubaca puisimu, meski tak pernah benar-benar kupahami. selalu tak selesai kubaca, meski helai daun kamboja luruh di sisa senja. seperti peziarah yang singgah tergesa-gesa, aku tak mampu mengeja puisimu yang menjelma cinta; barisan epitaf pada batu nisan yang kian tua.

Berpayung Daun Pisang


Aku lahir dari belantara yang renta
Maka tak ada yang menungguku
Selain molody keheningan
Sehabis lelah menualangi buana
Aku terkapar!
Orkestra kebisuan menngelayut resah
Bagai semilir mengembarakan bebulir pasir
Jejak terkubur tanpa arti

Aku mengungsi ke alam sepi
Tapi kau pun menjelma angin sunyi

Maka kau ciptakan musim hujan dalam anganku
Dari gubuk ke gubuk aku menggigil sayu
“itu ‘kan hanya gerimis, tak pantas ada tangis”,
Begitu katamu

Ya, tanpa suaramu pun aku takkan menangis
Meski hanya dengan helai jerami kering yang usang
Ku bangun serpihan jiwaku menjadi balai di tanah yang gersang
Genaplah sudah kerentaan ini yang malang

Sebagaiman rinduku yang biru
Dedaunan masih setia menunggu belaian angin mengecupi keningnya
Hingga tak ada derail embun menyalju
Aku luruh menguning diterpa gulana

Tapi aku begitu ingin merangkulmu
Walau hanya siluet wajah anggunmu yang ku dekap
Meski dengan berpayung daun pisang
Yang kupetik dari leladangan yang kerontang

Aku akan tetap menantimu dalam derai hujan

Gerimis Senja Diwajahmu


Barangkali
Hanya rinai gerimis
Yang bisa merekahkaj senja
Agar lembayung merah di mataku
Menjelma biru rindu

Sampai angin pun mampu membaca
Lukisan indah di wajahmu

Ah, …
Lukisan itu kian melaut
Biru
Lantaran hempas angina
Di pantai hatimu
Berkesiur
Kencang
Menghancurkan tebing terjal
Di kawah curam cintaku

Biarlah gerimis senja
Rebah di wajahmu
Semoga abadi
Meski diammu
Tak lagi
Memanggil-manggil
Di hati …

Orkestra Kebusian


Wahai lihatlah …
Engkau yang masih ragu menagkap isyarat angin

Andai tak ada kabut di jernih retinamu
Mungkin aku takkan menangis
Lantaran jelaga rindu di mataku
Tak terindah di kelopak beningmu

Ah, …
Andai semilir masih selalu bisu
Betapa dalam makna menuggu

Maka biarlah asa dan kebimbangan
Memucuk pilu di gugus awan
Di lelembah curam cinta
Orkestra kebisuan
Menerjemahkan nayanyian Tuhan

Keluh Gerimis


Pucuk-pucuk tembakau menengadah kuncup meradang kelabu. menangkap bias-bias asa pada kelopaknya berjatuhan. dan kau masih mengakabut dalam bayang-bayang luka nganga. mencadas, menerjal, membelukar, dan kian meranggas menghunjam matahari.

pada sebuah senja yang gelisah, lelah kian larut dalam relung gerimis mengeluh, menunggumu di istana paling gaib itu, sedang lembayung senja enggan membenamkan ronanya, menyaksikan kelepak sayapmu mengehempas naluri ilalang yang berjngkrak-jingkrak menggapai cakrawala.

tak ada yang lebih mewahyu daripada keluh gerimis yang menjelmakan senja menjadi lautan air mata.

Alas Buluh Dini Hari


Bersama gigil angin pantai dan secangkir kopi hangat;

jejatuhan kapuk-kapuk itu berjelaga di rerkah fajar
meinggalkan helai resah pada dedebu jalanan
merangkai anatomi setapak jalan sunyi
yang mengucur deras dari lebam kening matahari

dari ketinggian puncak gunung Raung
ku potret denyar temaram Watudodol
sedang rahang Banyuwangi demikian kabut
dan degup laut Ketapang menjelma kidung

di pelepah nyiur rinduku bersemi
menekuri zikir malam dalam selembar puisi
alas buluh dini hari
menanti sajakku memucuk abadi

Sebatang Cemara Kering


Sebelum dirimu menjelma sebatang cemara kering, ku lihat di jantungmu mengalir gemericik air sungai, mengibarkan pijar-pijar musim pada bebutir kerikil yang bertebaran di padang dingin. kau pun menunggangi kuda perang yang memercikkan bola api dari pukulan kuku kakinya, demi menziarahi sunyi ngarai yang demikian curam.

sebagaimana sujud kemarau yang rebah di jernih retinamu, kelopak-kelopak itu masih berjatuhan dari tangkainya yang lapuk, meski hanya semilir yang berdesir, merangkai sebaris epitaf pada sepotong batu nisan yang dipahat indah dengan lelentik jemari rembulan.

maka alangkah curam lelembah kawah hatimu; desau leletih angin menunggu diammu membatu bercadas magma, jentik reriak hujan menunggu sukmamu bergemuruh sirna.

“aku hanya sebatang cemara kering”, sembari tertawa pada angin, kau pun pamit dengan bahasa Tuhan.