Pages

Pertemuan Hujan


Kuceritakan kembali kisahmu, tentang peretemuan hujan yang memunguti sisa resahmu tadi malam. Harusnya tak ada kebimbangan, meski gerimis selalu, dan akan selalu merindukan pertemuan. Dan entah sampai kapan kau akan terus berjalan sendirian, mengemasi getar-getar hujan yang tak kunjung usai.

Maka seperti hujan yang telah menjadi janji, rindu harus tetap dilunasi, meski pertemuan tak pernah pasti. Tapi bukankah kepastian tidak pernah benar-benar terjadi? Kita hanya sanggup meraba waktu di antara jibunan jerami, yang kita tumpuk dari sisa-sisa mimpi.

Ah, bukankah waktu hanya ada dalam pikiran kita? Dan pada tiap derap hujan, harusnya tak ada jarak, yang selalu memisahkan pikiran dengan kenyataan. Haha...sedang bicara apa kita, Fa? Berbicara tentang peta kebencian yang memburu kita di ujung jalan? Atau tentang redup senja yang akan membunuhmu pelan-pelan?

Seperti Graha Amartha yang pongah, pastinya kau lebih tahu tentang makna pasrah. Maka tak heran bila suatu ketika kutemukan sebaris kalimat di status facebook-mu: "Saat aku melakukannya dengan keharusan, bukan berarti aku menyerah. Ketika aku dihadapkan pada kewajiban, bukan juga aku pasrah. Sewajarnya saja, tak harus semuanya berubah, tapi harapku tak hanya mampu menengadahkan tangan mengharap berkah".

Bahwa kemegahan tak bisa jauh dari kesuyian, kau pasti tak bisa membantahnya. Bukankah di tengah gigil kamarmu yang dingin kau masih merindukan hujan? Sesunyi hujan yang selalu mengantarkan pertemuan, hatimu itukah yang berjalan sendiri di pinggir jalan? Maka aku datang menemanimu, dengan kata-kata yang kupunya, meski kadang jenaka dan seringkali terbata-bata.

Barangkali benar kata Douglash Malloch; bila kau tidak bisa jadi pohon Cemara di bukit, jadilah belukar yang indah di parit. Bila tidak bisa jadi belukar di parit, jadilah rumput yang membuat jalan-jalan semarak. Bukan kemasyhuran yang menentukan seseorang menang, melainkan kewajaran. Dan kau telah melakukan kewajaran itu dengan sangat purna bukan?

Seharusnya, ya seharusnya kau mencintai dirimu sendiri. Tapi ah, untuk mencintai dirimu sendiri, kau butuh orang lain untuk mencintaimu. Disitulah barangkali kelebihanmu, Fa. Kau melakoni hidup sebagaimana kau yakin orang lain menganggap dirimu seharusnya begitu. Kau hidup demi Abahmu, Ummimu, semua orang, kecuali dirimu sendiri...

Barangkali, ya, lagi-lagi barangkali tidak berlebihan bila dulu kukabarkan, bahwa kau seringkali membalut luka dengan keheningan doa-doa. Maka kutitipkan saja selembar asa, yang menemuimu tanpa bahasa. Dan pertemuan hujan, mendendangkan nyanyian di ujung malam...

{ 0 comments... read them below or add one }

Posting Komentar