Pages

Kau Balut Luka Dengan Keheningan Doa


Sebelum kau benar-benar pergi, meninggalkan rubaiat sunyi yang kau cipta bersama mimpi, berhentilah sejenak. Ya, hanya sejenak. Semacam jeda yang telah memberimu dahaga fatamorgana. Katamu, hidup ini lelah. Dan kegelisahan paling renta adalah kekalutan rasa yang tiba-tiba muncrat, melumuri jengkal demi jengkal perjalanan rindumu yang menggelora.

Maka marilah kita reguh makna secangkir kopi hangat di Cafe ini, sembari menikmati sisa-sisa mimpi di rentetan hari-hari yang membelenggu nurani. Meski hanya sekedar dongeng usang yang kau hayati, percayalah, kita telah memulainya dari hati sendiri, di tempat paling sunyi ini.

Tak seorang yang benar-benar mengerti akan pemahamannya sendiri, termasuk juga dirimu. Maka sebesar apapun kau membenci orang yang seharusnya paling kau cintai, penyesalan sia-siamu akan segera menanti. Hanyalah rerintik sunyi yang akan menusuk-nusuk jantungmu setajam belati.

Hampir setiap berkata, kau selalu mengawalinya dengan "percaya nggak?". Seolah kau tidak pernah benar-benar percaya pada kata-katamu, pun juga kehidupanmu. Padahal, sebelum berkata, sungguh, aku telah paham makna keterasingan yang lama menjeratmu. Kau teralienasi dari ruhmu sendiri. Maka mengapa kau harus masuk pada labirin yang kau ciptakan sendiri. Ini ironi sepotong mimpi...

Pada akhirnya aku tahu, lidahmu nyaris kelu untuk mengungkapkan gemuruh kata-kata. Padahal, sungguh, aku bisa menerka betapa magma laramu terus mendidih dalam dada. Meski tak ada satu kalimat pun yang mampu menyuguhkan kepastian, tapi sungguh, ya lagi-lagi sungguh, kau telah berhasil membalut luka dengan keheningan doa-doa. Tanpa sadar, kau telah mengajariku makna ketabahan; bahwa kehilangan tak semestinya membawa penderitaan.

Malam ini kita telah berusaha melumat matahari. Menyemai mimpi menjadi serpih-serpih sunyi. Mengubur ego dalam liang-liang sepi...

{ 0 comments... read them below or add one }

Posting Komentar