Pertama kali aku memandangmu, gemerisik dedahan kecil di hatiku melambai teduh. Seteduh rindang rerantingmu yang merimbun malam, meski tak kelam. Aku tak pernah percaya bahwa kau menganggapnya sebagai pohon yang tetap sepi, sendiri dalam sunyi. Tidak. Aku sama sekali tak percaya. Lihatlah, betapa akarnya semakin kokoh menghunjam bumi, dahan-dahannya sudah menulang tinggi menggapai langit, daun-daunnya mulai gemulai sungguh aduhai. Ya, pohonmu telah lama berjejak bersama tapak-tapak kakimu yang melangkah pelan, perlahan….
Aku akan setia berteduh di bawah hamparan pohonmu yang sejuk. Sesejuk kalimat-kalimat sunyimu yang bergeletar, menampar-nampar kesadaran imajiku yang terkapar. Sepimu memang menjelma orkestra di hutan-hutan, tapi begitu sangat kunikmati seperti guruh ombak di lautan.
Di satu senja yang temaram, kulihat pohonmu menyisakan siluet yang berarak lembayung. Merangkai sktesa lukisan lazuardi. Merona merah. Semerah kalbumu. Sungguh, sunyi begitu menggetarkan seluruh sendi-sendi jiwaku yang kering, tidak seperti dedaunmu yang biru. Maka sejak saat itulah, janjiku mulai terpatri; aku akan belajar pada pohon sunyimu, meski kerap tak mengerti.
Biarlah kau selalu berkata pada angin, bahwa sepi-sunyi masih merejam pohonmu, jiwamu dan pikiranmu, karena tak satupun kata-kata ini mampu memakanai hakikat sunyi di relung sukmamu. Aku terlambat mengunjungimu kali ini, maka biarkan hanya riak-riak tulisan ini yang berusaha menemanimu dalam meniti sepi dan sunyi, hingga pohonmu tak lagi sendiri...
Aku akan setia berteduh di bawah hamparan pohonmu yang sejuk. Sesejuk kalimat-kalimat sunyimu yang bergeletar, menampar-nampar kesadaran imajiku yang terkapar. Sepimu memang menjelma orkestra di hutan-hutan, tapi begitu sangat kunikmati seperti guruh ombak di lautan.
Di satu senja yang temaram, kulihat pohonmu menyisakan siluet yang berarak lembayung. Merangkai sktesa lukisan lazuardi. Merona merah. Semerah kalbumu. Sungguh, sunyi begitu menggetarkan seluruh sendi-sendi jiwaku yang kering, tidak seperti dedaunmu yang biru. Maka sejak saat itulah, janjiku mulai terpatri; aku akan belajar pada pohon sunyimu, meski kerap tak mengerti.
Biarlah kau selalu berkata pada angin, bahwa sepi-sunyi masih merejam pohonmu, jiwamu dan pikiranmu, karena tak satupun kata-kata ini mampu memakanai hakikat sunyi di relung sukmamu. Aku terlambat mengunjungimu kali ini, maka biarkan hanya riak-riak tulisan ini yang berusaha menemanimu dalam meniti sepi dan sunyi, hingga pohonmu tak lagi sendiri...
{ 0 comments... read them below or add one }
Posting Komentar