KEJADIAN ini berawal ketika saya masih berdomisili di Kota Maumere, Flores beberapa waktu lalu. Hampir 2-3 kali dalam seminggu, saya, beberapa Pak Haji, beberapa Romo (kebiasaan kami memanggil Pastor), dan beberapa kawan lainnya bertemu di Aula Gedung Kepastoran. Gedung ini tepat berada berseberangan dengan bangunan gereja yang megah. Karena tempatnya luas, aulanya dijadikan ruang serbaguna. Selain untuk kegiatan kepastoran, juga dijadikan sarana olah raga, yaitu badminton. Yang bermain tak hanya dari kalangan “dalam”, tetapi terbuka untuk umum dan perkumpulan atau klub-klub amatir dengan jadwal yang disesuaikan.
Kebetulan, saya juga menjadi anggota lepas yang bermain di sini, artinya saya bisa bermain di beberapa perkumpulan dan sesukanya main di perkumpulan mana yang bermain di gedung ini, yang penting membayar iuran. Anggota lepas biasanya membayar iuran hanya “insidental” saja, sekali main langsung bayar. Beda dengan yang anggota tetap, setiap bulan harus membayar iuran, main atau tidak main.
Dalam setiap pertandingan, biasanya saya berganti-ganti pasangan. Seringnya saya berpasangan dengan Romo F, seorang pastor, yang bermain dengan tangan kiri dengan pukulan yang sering “tak terduga”. Ya, sering tak terduga, kadang suttlecock yang mudah dikembalikan, dipukul keras tapi nyangkut pada net. Saya menggandeng Romo F bukan tanpa alasan, karena beliau usianya sudah tak muda lagi, maka saya harus menjadi penyeimbangnya. Biasanya Romo F saya minta berada di depan, setidaknya untuk menutupi ketidaklincahannya dalam bergerak.
Lawan tanding saya biasanya Haji IB dan Haji IM yang terkenal dengan tenaga kudanya dan smash-smash keras dan cop sert drop shot yang menipu. Dua haji ini adalah nelayan sukses yang gila juga dengan permainan badminton. Tenaganya sangat kuat karena –menurut penuturannya– sering menarik tambang kapal dan jala sendiri jika melaut, meskipun mempunyai beberapa anak buah.
Sementara Romo F yang usianya tak muda lagi itu dan dengan gerakannya yang tak lincah lagi, akan sering menjadi sasaran pukulan tipuan dua haji ini. Pontang-pantinglah Romo F menangkis dan mengembalikan suttlecock. Itu makanya, jika Romo F tandem dengan saya, saya minta dia di depan. Selain alasan untuk menutupi ketidaklincahan geraknya, juga untuk menghadang suttlecock di depan net atau pukulan-pukulan cop di depan net.
Saya sering mengingatkan beliau untuk tetap konsentrasi dan waspada agar tak ditipu terus-menerus sama Pak Haji. Kalau bisa gantian mereka kita tipu. Setahu saya, Romo F ini juga punya pukulan-pukulan yang menipu dan “tak terduga”. Sayangnya, kalau memukul atau mengembalikan suttlecock dengan tipuan, sekitar empat dari lima pukulan, sering nyangkut net, atau kalau tak nyangkut net, malah keluar lapangan. Kalau sudah demikian, biasanya saya menyarankan untuk mengarahkan suttlecock dengan “sederhana” saja alias asal bisa kembali dan tak keluar area :)
Ya, itulah “modus operandi” penipuan kami dalam pertandingan badminton setiap minggu. Apa jadinya jika Pak Haji tak menipu Romo F dan saya? Apa jadinya jika kami tak saling menipu dengan pukulan-pukulan atau smash tajam menghujam? Permainan akan terasa garing dan tak seru. Karenanya, kami wajib menipu dengan cop maupun dropshot di setiap pertandingan. Kalau tidak menipu, kamilah yang akan ditipu, dan kami akan mudah dikalahkan. Begitu bukan?
Jangan Lupa Di Like Ya Gan..
{ 0 comments... read them below or add one }
Posting Komentar