Juni 2009. Malam nan laknat itu datang. Di lantai tiga sebuah apartemen di Kota Hawali, Kuwait, pembantu rumah tangga Imas Tati (22) terpentang, terbaring telanjang di ruang tamu. Kedua tangan dan kakinya diikat pada kaki-kaki kursi. Majikannya, seorang pria berusia 30 yang ia panggil Baba, memandangi tubuh Imas dengan nanar. Tangan Baba menyentuh Imas.
”Ya Allah, Ya Rabbi,” bisik Imas dalam hati. Matanya berkaca-kaca. Tak berapa lama, air matanya tak terbendung lagi, mengairi pelipisnya. Ia terus menderas asma suci Allah dalam hati. Tangan dan kakinya terus meronta, menolak disentuh. Tapi Baba tambah bernafsu. Ia bukan hanya menyentuh, tetapi memukuli Imas.
Mata Imas terkatup rapat menahan rasa sakit, rasa takut, terhina dan marah. Ia meredamnya dengan terus menyebut asma suci Allah. Giginya menggigit bibir.
Tiba-tiba telepon genggam Baba berbunyi. Istrinya, Nyonya ”Z”, seorang dokter bedah, pulang. Baba buru-buru memakai pakaiannya. Imas pun ia lepas. Sambil berpakaian, Baba lalu menjambak rambut Imas dan mendekatkan mulutnya pada telinga Imas. Baba berbisik, ”Kalau kamu melawan, saya akan terus menjadi ancaman buat hidupmu. Seharusnya kamu mau melayani saya dan menerima lebih banyak uang untuk keluargamu." Tangan kiri Baba masih menjambak rambut Imas.
Imas membisu. Babak berikutnya adalah babak sandiwara sepasang suami istri. Setelah melayani keduanya, Imas pergi tidur. Tetapi di kamarnya, ia tak bisa memejamkan mata. Ini adalah yang kesekian kalinya ia nyaris diperkosa. Terakhir, ia hendak diperkosa si Baba dan lima keponakan prianya.
Ceritanya, usai mengantar belanja, Imas diminta tetap di mobil bersama kelima keponakan pria Baba. Ternyata mereka berniat memperkosa Imas. Sambil berjalan, kelimanya membekap Imas. Hampir seluruh pakaian Imas termasuk pakaian dalamnya sudah lepas. Demikian pula pakaian ke lima keponakan Baba.
Karena Imas terus meronta, kelima pria lamban mewujudkan niatnya. Saat kendaraan hendak sampai apartemen Baba, Baba mengingatkan kelima keponakannya agar mengurungkan niatnya. ”Kita cari waktu lain saja yang lebih leluasa,” ucap Baba. Meski kecewa, kelima keponakan menuruti permintaan Baba.
Lari
Imas mengejapkan matanya, mengusir genangan air mata. Ia masih terbaring di tempat tidur. Bayangan tentang Baba yang terus berusaha mencicipi tubuhnya di dapur, di ruang tamu, di ruang makan, bahkan di kamar mandi, membuatnya makin gelisah. Peluang Baba memperkosa Imas banyak. Sebab, Baba sehari-hari di rumah sementara istrinya setiap hari berangkat pagi, pulang malam. Hampir seluruh waktu Nyonya Z, dihabiskan di rumah sakit.
Tapi lama-lama Imas tak ingin lagi menjadi seekor ikan yang cuma bisa menggelepar tanpa suara. Imas ingin lari tapi, ragu bila mengenang kembali cita-citanya bekerja untuk membiayai sekolah adiknya, dan membantu ekonomi orangtuanya di desa.
Ingatan tentang penderitaannya selama menjadi pembantu rumah tangga di Arab Saudi kemudian menepis cita-cita Imas. Ia lalu menguatkan tekad untuk kabur.
Pagi pukul 05.00, ia melepas dan menyambung-nyambung kain korden dan selimut. Ia pun mengendap-endap turun dari lantai tiga. Sampai di lantai dua, ia jatuh. Niatnya kabur gagal. Di depan istrinya, Baba pun mencaci maki Imas. ”Dasar budak tidak tahu diuntung!”. Mendengar teriakan itu, Imas tak ingin lagi jadi seekor ikan. Ia berkata, ”Saya tidak akan berbuat seperti ini bila majikan saya baik”.
Imas lalu dibawa ke Rumah Sakit Mubarak. Setelah dua pekan di rumah sakit, ia diberi tahu kakinya mungkin lumpuh dan harus diamputasi. Ia menjawab dengan menggelengkan kepala dan menangis.
”Tulang punggung saya dibagian tengah, hancur dan mendapat 40 jahitan luar dan dalam. Kedua engsel kaki saya pecah. Tulang-tulang yang rusak ini dipasangi pen,” kata Imas saat ditemui di pondokan Migrant Care di kawasan Jakarta Timur, Rabu (22/6/2011) sore.
Ia lalu menunjukkan bekas jahitan di punggung dan kedua pergelangan kakinya. Maret 2010, pen-pen di kedua pergelangan kakinya, dilepas di Rumah Sakit Polri Raden Said Soekanto, Kramatjati, Jakarta Timur.
Indonesia Raya
Sebelum bekerja pada Baba dan Nyonya Z, Imas, gadis Desa Ciparai RT 1/RW 7, Leuwi Mundaling Majalengka, Jawa Barat ini, bekerja pada keluarga polisi, J (30). Rumahnya di Jalan Mubarak al-Kabir. Di tempat ini, J sering menyiksa Imas.
”Saya sering jadi bulan-bulanan kekesalan dia meski saya tidak bersalah dan diam. Saya dipukuli dan ditendangi. Saya sudah seperti bola saja. Dia sering baru berhenti menganiaya setelah saya pingsan. Bahkan kadang, saat dia belum puas menyiksa saya, dia mengguyur saya supaya sadar, lalu memukuli saya lagi,” papar Imas.
Ketika ia melaporkan kasus ini ke KBRI, Imas justru dijebloskan penjara oleh majikannya yang polisi. ”Orang-orang KBRI tidak membela saya ketika mereka melihat saya diseret-seret dan dibawa ke penjara,” tutur Imas. Ia mengaku tidak digaji selama bekerja pada polisi J.
”Waktu saya di KBRI, saya dikejar-kejar agen pembantu. Saya lalu dijual ke keluarga lain dengan harga Rp 15 juta. Begitu seterusnya sampai saya bekerja di rumah Baba,” ungkap Imas.
Ia sempat bekerja dengan tenang di dua keluarga. Ia digaji sebulan 50 Dinar atau sekitar hampir Rp 2 juta. ”Tapi baru empat-lima hari bekerja, agen pembantu menteror majikan saya. Saya pun dilepas dan dijual kembali ke keluarga lainnya,” ujarnya.
Menurut Imas, Warganegara Indonesia yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Arab, dilarang memakai bahasa Indonesia. ”Kalau menyanyi Indonesia Raya?”. ”Aduh...,” jawabnya sambil menggelengkan kepala.
Korban lain
Sejak Februari 2011, Imas berada di Indonesia. Saat dirawat di Rumah Sakit Polri, ia bertemu dengan seorang pembantu rumah tangga lainnya yang juga dirawat. Namanya Basaeri (25). Tulang punggung Basaeri patah. Beberapa jaringan syarafnya rusak. Ia tidak bisa lagi berkomunikasi. Bicaranya kacau.
Imas bercerita, Basaeri adalah pembantu rumah tangga yang bekerja di Suriah. Saat mengepel, ia jatuh didorong anak majikannya. Bukannya mendapat perawatan, Basaeri justru dianiaya. ”Sekarang dia sudah meninggal. Dia meninggal waktu dioperasi,” tutur Imas.
Nasib serupa juga dialami kawan Imas lainnya, Dewiyanti asal Brebes, dan Muslimah asal Tegal Gubuk, Indramayu, Jawa Tengah. Menurut Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah, tidak kurang dari lima ribu pembantu rumah tangga warganegara Indonesia mendapat kekerasan fisik selama bekerja di Arab Saudi. Dua ribu di antaranya, menjadi korban kekerasan seksual. "Di negeri lain jumlah korban lebih kecil," jelasnya.
Budak nafsu
Pembantu rumah tangga lainnya, Rosnani (48) mengatakan, apa yang dialami Imas, Basaeri, Dewiyanti, dan Muslimah, menjadi hal yang biasa terjadi di Arab Saudi. ”Sejak 1985 saya bekerja di Arab Saudi dan sudah beberapa kali pulang ke kampung halaman. Saya bertemu mereka dimana-mana. Nasibnya serupa. Kalau tidak jadi sasaran nafsu syahwat, ya jadi sasaran nafsu membunuh,” tutur perempuan asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan itu.
Ia berpendapat, para pembantu rumah tangga warganegara Indonesia hidup seperti budak di Arab Saudi. Dijual oleh para agen pembantu rumah tangga. Ditarik lagi dan ditempatkan di keluarga lain, demi mendapat Rp 15 juta – Rp 20 juta dari setiap transaksi jual beli. ”Kalau belum laku. Di suruh nunggu di kamar kaca kantor agen pembantu, sampai ada orang yang membeli,” ujar Rosnani.
Menurut Imas, dianiaya dan diperkosa berulang kali oleh majikan dan keluarganya, dijual dan diperas agen-agen penyalur pembantu rumah tangga, menjadi pengalaman sebagian besar kawan-kawan satu pekerjaan di Arab Saudi.
"Kalau sudah tua seperti saya, orang-orang itu engga doyan. Sebagai gantinya, saya diperas bekerja 22 jam setiap hari tanpa libur. Bangun jam 05.00, tidur jam tiga hari berikutnya. Dipukuli, disekap, diludahi, dilempar ke comberan,” lanjut Rosnani.
Ia mengaku, setelah memukuli, majikannya dengan mudah menempelkan pisau di lehernya sambil mengancam, ”Saya bisa gorok dan potong-potong kamu sesuka hati saya. Tidak ada yang melindungi kamu di sini bukan?”. Karena ancaman seperti itu datang berulangkali, Rosnani pun tidak tahan dan kabur dengan uang sendiri.
Rosnani mengingatkan, tidak mudah kembali ke Tanah Air setelah para perempuan pembantu rumah tangga terjerat jaringan agen pembantu rumah tangga. ”Bisa lepas dari agen dan punya uang untuk pulang saja sudah mujur,” tuturnya.
Meski mengaku nasibnya lebih beruntung, tetapi Rosnani tak mau lagi ke Arab Saudi menjadi pembantu rumah tangga. ”Lebih senang hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang,” katanya menutup percakapan.
{ 0 comments... read them below or add one }
Posting Komentar