Pages

Berkat Prasasti Kuno, Desa Ini Selamat dari Amukan Tsunami




Batu prasasti dengan peringatan mengenai tsunami di desa Aneyoshi, Jepang

ANEYOSHI, JEPANG — Batu prasasti itu telah berdiri di sisi bukit berhutan sejak mereka belum lahir. Namun, para penghuni desa itu meyakini dan mematuhi peringatan keras terukir di permukaan lapuk itu, "Jangan membangun rumah di bawah titik ini."

Penduduk mengatakan perinta dari leluhur mereka telah membuat desa kecil berpenghuni 11 keluarga itu selamat dari jangkauan tsunami mematikan yang menyapu hingga berkilometer dari pantai Jepang dan menaikkan catatan rekor ketinggian dekat area itu. Gelombang itu berhenti kurang dari 100 meter di bawah prasasati, tepatnya 91,4 meter. Beruntung, desa itu masih jauh di atas lagi.

"Mereka telah mengenal horor tsunami, sehingga mereka menancapkan batu itu untuk memperingatkan kami,: ujar kepala desa Aneyoshi, Tamishige Kimura, 64 tahun

Ratusan batu-batu tsunami itu, beberapa dari mereka bahkan berusia enam abad, menjadi titik-titik di sepanjang pantai Jepang, berdiri menjadi saksi bisu kehancuran masa silam saat gelombang maut kerap menyapu kawasan tersebut.

Namun Jepang modern meyakini bahwa teknologi canggih dan dinding laut tinggi dapat melindungi area yang rentan. Mereka datang dan melupakan atau bahkan mengabaikan peringatan kuno, akhirnya berujung malapetaka ketika pengalaman pahit terulang saat tsunami baru-baru ini menyerang.

"Batu-batu tsunami adalah peringatan lintas generasi, mereka memberi tahu anak cucu untuk menghindari penderitaan serupa yang dialami leluhur," ujar pakar sejarah bencana alam, Itoko Kitahara di Univeristas Ritsumeikan, Kyoto. "Beberapa tempat masih memperhatikan pelajaran berharga itu, namun banyak yang tidak."

Batu prasasti rata, beberapa setinggi 3 meter, adalah pemandangan jamak di sepanjang pantai timur kasar di Jepang. Di kawasan itu gempa 8,9 SR dan tsunami menghantam pada 11 Maret lalu membuat 29 ribu orang meninggal dan hilang.

Ada beberapa batu yang begitu tua sehingga huruf-huruf yang dipahat telah aus. Sementara sebagian besar berusia sekitar seabad lalu, setelah dua tsunami menghantam area itu, termasuk satu pada 1896. Saat itu tsunami membunuh 22 ribu orang.

Banyak batu lain hanya berupa peringatan sederhana untuk membuang semua barang dan berlari cepat mencari tempat tinggi setelah gempa terjadi. Sedangkan batu-batu yang lain memberi kenangan suram terhadap kekuatan merusak tsunami dengan mendaftar nama-nama korban atau menandai kuburan massal.

Beberapa batu ikut tersapu ketika tsunami menghantam bulan lalu, yang diprediksi pakar sebagai yang terbesar melanda Jepang sejak gempa dahsyat Jogan pada 869. Saat itu gelombang membawa deposit pasir hingga jauh ke daratan

Batu peringatan tsunami Aneyoshi adalah satu-satunya yang secara spesifik memperingatkan di mana membangun rumah yang aman. Namun banyak batu di tempat lain juga mengindikasikan tempat aman dari sapuan gelombang, seperti Nokoriya, atau Lembah Orang Selamat dan Namiwake atau Tepi Gelombang, titik berjarak 4,8 kilometer dari laut, yang menurut ilmuwan menandai jangkauan terjauh tsunami pada 1611.

Pakar lokal menuturkan hanya keluarga di desa Aneyoshi yang mematuhi peringatan kuni dengan menjauhkan rumah mereka dari laut. Umumnya, batu-batu prasasti itu tak dianggap mengingat kota tepi pantai kian tumbuh, terutama usai Perang Dunia II. Bahkan komunitas yang telah pindah ke daratan lebih tinggi merelokasi rumah mereka kembali ke sisi laut supaya dekat dengan perahu-perahu mereka.

"Begitu waktu berjalan, orang-orang kian melupakan, hingga tsunami datang lagi dan membunuh 10 ribu orang," ujar seorang sejarawan amatir Fumio Yamashita dari prefektur yang menaungi Aneyoshi, Iwate. Ia telah menulis 10 buku tentang tsunami.

sumber

{ 0 comments... read them below or add one }

Posting Komentar